photo AB230x90gif_zps839436ce.gif

Selasa, 29 Maret 2016

Terharu Melihat Bocah-bocah SD ini, Terabas Medan Sulit karena Jembatan Ambrol

Terharu Melihat Bocah-bocah SD ini, Terabas Medan Sulit karena Jembatan Ambrol

Berita terkini - Terharu Melihat Bocah-bocah SD ini, Terabas Medan Sulit karena Jembatan Ambrol - Sragen - Setahun terakhir puluhan siswa SDN Jetis 3, Sambirejo, Sragen, harus menyeberangi Kali Kembang, anak sungai Bengawan Solo, untuk sampai di sekolahannya. Bukan untuk berpetualang layaknya cerita-cerita kanak-kanak kampung yang sering ditayangkan di televisi. Mereka harus mempertaruhkan keberanian karena jembatan penghubung antar desa yang mereka tempati, putus diterjang banjir dan belum ditangani sama sekali.

Banyak anak dari Kampung Sejeruk di Desa Musuk harus bersekolah di SDN Jetis 3 yang berada di Kampung Kembang Desa Jetis. Keduanya masuk Kecamatan Sambirejo, Sragen. Meskipun berdekatan, dua kampung bersebelahan itu dipisahkan oleh Kali Kembang, anak sungai Bengawan Solo, yang berhulu di lereng Gunung Lawu.

Anak-anak Sejeruk yang kampungnya terpencil lebih memilih tetap bisa bersekolah di SDN Jetis 3, meskipun setiap hari setidaknya harus mengadu nasib melintasi derasnya arus kali. Setidaknya sehari dua kali; saat berangkat dan pulang sekolah. SDN Jetis 3 tetap menjadi pilihan karena SD lain yang tidak harus menyeberang kali, jaraknya terlalu jauh dari rumah mereka.

Padahal satu-satunya jembatan yang menghubungkan kedua desa tersebut ambrol dan tak bisa lagi bisa dilalui. Jembatan Kembang, demikian biasa disebut, ambrol dihantam banjir besar pada awal April 2015 lalu. Hingga kini tidak ada kejelasan sama sekali mengenai nasib jembatan tersebut.

"Saat berangkat mereka diantar atau diseberangkan oleh orangtuanya. Pulangnya nanti para guru yang menyeberangkan, terutama para guru yang juga harus melewati sungai tersebut untuk kembali ke rumahnya. Biasanya kalau hujan cukup lama, arus sungai sangat deras bahkan hampir mendekati bibir sungai sehingga anak-anak memilih tidak berangkat sekolah," ujar Aris Sugiyanto, salah satu guru, Selasa (29/3/2016).

Dari 11 guru yang mengajar di desa tersebut, 4 di antaranya setiap hari harus ikut serta menyeberangi sungai tersebut. Rumahnya berada di seberang sungai. Jika harus memutar melewati jembatan lain terdekat maka harus menambah jarak 10 km atau 20 km pergi dan pulangnya.

Setiap pagi, selama setahun terakhir, anak-anak penerus masa depan bangsa ini harus melepas sepatu masuk sungai dan mengangkat tasnya tinggi agar tidak terkena basah saat menyeberang, meskipun sesekali tetap basah oleh air sungai yang menerpa. Mereka tidak mau melepas asa tentang masa depan dan ingin mengangkat harapannya tinggi-tinggi meskipun belum tentu juga akan tercapai.

Mereka tetap bersemangat, tak kenal lelah. "Banyak dari mereka juga berprestasi. Ada yang juara calistung (baca, tulis, hitung) tingkat kecamatan, ada yang mewakili kecamatan untuk lomba olahraga atau lomba kesenian," lanjut Aris.

Belum ada kejelasan hingga kapan jembatan baru akan kembali dibangun. Bupati Sragen, Agus Fatchurahman, mengatakan bahwa secara teknis tidak mungkin lagi dibangun jembatan baru di lokasi yang sama. DPU Kabupaten Sragen sebagai pelaksana teknis tidak merekomendasikannya karena lokasi tersebut rawan longsor.

"Dua desa yang dihubungkan oleh jembatan itu belum mengajukan lokasi baru untuk pembangunan jembatan lagi. Dalam Musrenbangdes hingga Musrenbang Kabupatentahun 2015/2016 belum dibahas. Kalau sudah disediakan lokasi baru pasti akan segera kami bangun," ujar Agus kepada miss4d.blogspot.com

Tahun 1966, penyair Taufiq Ismail, pernah menulis sebuah puisi fenomenal berjudul 'Yang Kami Minta Hanyalah'. Isinya sangat menohok, bahwa rakyat hanya membutuhkan sebuah bendungan. Puisi itu menjadi respon atas orientasi pembangunan saat itu yang dianggap proyek mercusuar, tidak menyasar pada kebutuhan rakyat.

Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Air mancur warna-warni

Kirimkan kapur dan semen, Insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta
Yang tak sampai kepada kami

Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
Yang kami minta hanya sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya

Demikian penggalan syair dalam puisi tersebut.

Kondisi anak-anak desa di Sambirejo, Sragen, yang setiap hari harus melintasi sungai untuk membekali diri dengan pendidikan demi masa depannya, adalah potret pembangunan kita. Ambrolnya jembatan itu, bukan berarti ambrol pula semangat mereka untuk menggapai cita-cita dan harapannya.

Kondisi tersebut adalah jawaban atas seribu slogan tentang pembangunan. Mereka tidak membutuhkan kereta cepat, pembangunan banyak bandara, apalagi mimpi tentang tol laut. Bertahun-tahun kita merdeka, yang mereka minta hanya sebuah jembatan saja. Kabulkanlah kiranya....(miss4d.blogspot.com).

agen casino online | casino terpercaya | casino indonesia | game online | judi online | game casino online | game online terpercaya | agen judi togel | agen taruhan bola | agen poker 

0 komentar:

Posting Komentar